Sosial & Budaya

Apa itu Cancel Culture? Bagaimana Sikap Milenial dan Gen Z Menghadapinya

[ A+ ] /[ A- ]

Bicara soal cancel culture, kayaknya kita semua nggak asing lagi, kan? Apalagi bagi milenial dan Gen Z, yang tumbuh besar di dunia digital.

Cancel culture atau budaya pembatalan adalah fenomena di mana seseorang atau sesuatu mendapatkan kecaman besar di media sosial, biasanya karena sebuah kesalahan atau pendapat kontroversial. Bisa jadi itu selebriti, influencer, atau bahkan brand besar.

Tapi, di balik semua kegaduhan itu, gimana sih sebaiknya kita, sebagai generasi milenial dan Gen Z, bersikap?

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture pada dasarnya adalah bentuk protes atau penghukuman massal yang terjadi melalui platform sosial.

Misalnya, ada seorang public figure yang membuat pernyataan kontroversial, lalu netizen langsung menyerang, memboikot, bahkan menghentikan segala bentuk dukungan terhadap orang tersebut.

Dengan cepat, orang yang terkena cancel bisa kehilangan pekerjaan, reputasi, atau bahkan pengikut di media sosialnya. Kejadiannya memang seru, kadang lucu, tapi di sisi lain juga bisa sangat merusak.

Tapi, apa sih alasan di balik munculnya fenomena ini?

Cancel culture berakar dari ketidakpuasan terhadap perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial, terutama terkait dengan isu sensitif seperti rasisme, seksisme, atau diskriminasi. Para pelaku cancel culture merasa bahwa perilaku tersebut tidak bisa diterima dan harus ada konsekuensi.

Milenial dan Gen Z: Generasi yang Peka Terhadap Ketidakadilan

Milenial dan Gen Z adalah generasi yang tumbuh besar dengan teknologi dan media sosial. Karena akses informasi yang mudah, kita lebih peka terhadap isu-isu sosial dan tidak takut untuk menyuarakan pendapat kita.

Itu sebabnya, kita sering kali terlibat dalam tren cancel culture karena kita merasa itu adalah cara kita untuk menegakkan keadilan dan mendukung perubahan.

Namun, ada sisi lain dari cancel culture yang mulai disadari banyak milenial dan Gen Z: apakah kita benar-benar tahu semua fakta sebelum ikut menghakimi? Kadang, dalam suasana yang penuh emosi, kita ikut-ikutan mengomentari tanpa benar-benar memahami situasi yang sebenarnya.

Apalagi, di dunia maya, banyak sekali kabar burung atau informasi yang belum tentu valid. Ini membuat banyak orang mulai berpikir dua kali sebelum ikut terlibat dalam pembatalan massal.

Sikap yang Bijak dalam Menghadapi Cancel Culture

Sebagai generasi yang sangat terhubung dengan dunia maya, kita harus bisa bijak dalam merespons budaya ini. Berikut beberapa sikap yang perlu dipertimbangkan:

Berpikir Kritis dan Cari Fakta

Sebelum ikut terjun ke dalam aksi cancel culture, kita harus berpikir kritis terlebih dahulu. Jangan langsung terprovokasi dengan headline atau potongan video yang viral.

Coba periksa sumber informasi yang lebih lengkap dan cari tahu apakah informasi yang kita dapat sudah benar-benar terverifikasi. Ini penting, karena tanpa fakta yang jelas, kita bisa saja ikut menyebarkan kebencian atau salah paham.

Menghargai Proses Perubahan

Salah satu alasan kenapa cancel culture sering dipertanyakan adalah karena sering kali orang yang terlibat tidak diberikan kesempatan untuk berubah. Semua orang bisa membuat kesalahan, dan mereka berhak untuk belajar dan memperbaiki diri.

Sebagai milenial dan Gen Z yang paham dengan pentingnya pertumbuhan pribadi, kita harus bisa memberi ruang untuk orang-orang tersebut untuk menunjukkan penyesalan dan perubahan, bukan hanya fokus pada menghukum mereka.

Fokus pada Solusi, Bukan Hanya Hukuman

Daripada hanya mengecam dan membatalkan seseorang, lebih baik kita berpikir tentang bagaimana kita bisa memberikan solusi.

Jika ada perilaku atau ucapan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut, bukankah lebih baik untuk berdiskusi dan menunjukkan apa yang salah dengan cara yang konstruktif? Ini bisa membuka ruang bagi perubahan, bukan hanya membuat jarak yang lebih besar antara pihak yang berselisih.

Menghindari Efek Herd Mentality

Sering kali, orang mengikuti arus tanpa berpikir, hanya karena tren atau banyak orang lain yang melakukannya. Padahal, setiap orang memiliki pandangan yang berbeda.

Sebagai milenial dan Gen Z yang cerdas, kita harus bisa menghindari efek herd mentality di mana kita hanya ikut-ikutan tanpa tahu alasan sebenarnya. Kita harus punya pendapat yang objektif, bukan hanya mengikuti tren yang sedang viral.

Berempati dan Toleransi

Cancel culture tidak hanya tentang hak kita untuk mengkritik orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa tetap berempati.

Ada banyak situasi yang tidak kita ketahui sepenuhnya, dan sering kali orang membuat kesalahan tanpa niat jahat. Dengan empati dan toleransi, kita bisa menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat dan mendalam, bukan hanya sekadar menyerang.

Menghadapi Cancel Culture di Indonesia

Di Indonesia, fenomena cancel culture juga mulai berkembang, meskipun mungkin tidak secepat di negara-negara Barat. Banyak kasus kontroversial yang muncul di dunia maya dan menjadi bahan perdebatan.

Contoh yang cukup viral adalah beberapa selebriti yang pernah terlibat dalam isu sensitif, yang membuat mereka dihujat dan diboikot publik.

Meski demikian, di Indonesia, kita lebih cenderung mengedepankan budaya gotong royong dan maaf-memaafkan.

Namun, ini bukan berarti kita harus membiarkan kesalahan terulang terus-menerus. Kita tetap perlu menuntut pertanggungjawaban, namun dengan cara yang lebih bijaksana dan penuh pengertian.

Kesimpulannya, cancel culture memang menawarkan cara bagi milenial dan Gen Z untuk menuntut keadilan dan perubahan. Tapi kita juga harus bijak dalam menghadapinya.

Dengan berpikir kritis, memberi ruang untuk perubahan, dan berfokus pada solusi, kita bisa membuat dunia maya menjadi tempat yang lebih konstruktif.

Sebagai generasi yang peka terhadap ketidakadilan, kita punya potensi untuk membawa perubahan positif tanpa harus terjebak dalam siklus kebencian yang tak ada habisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *